Jumat, 30 September 2011

MAKALAH TRANSPLANTASI ANGGOTA TUBUH
Oleh > Kanak Sejomank 2010

I.                   PENDAHULUAN
Jajaran penerangan maupun media massa telah banyak memperbincangkan masalah transplantasi organ tubuh dan Transfusi Darah. Hal tersebut dilakukan sebagai pengantar untuk sosialisasi undang-undang khusus yang mengatur masalah ini. Tentu, sesuai dengan wasiat si mati atau dengan persetujuan ahli warisnya. Aparatur negara maupun institusi mengatur masalah ini berdasarkan asas manfaat dan maslahat. Pemerintah mencoba mempengaruhi perasaan masyarakat, serta menyentuh emosi mereka terhadap masalah ini, dengan menekankan bahwa perkara ini adalah perkara kemanusiaan. Untuk mengokohkan upaya, mereka menelikung Islam serta hukum syara’ untuk meloloskan undang-undang tersebut: undang-undang yang mengatur aktivitas transplantasi anggota tubuh manusia dan Transfusi darah.
Maka, merupakan keharusan adanya penjelasan hukum syara’ terhadap masalah ini, Akan tetapi sebelum melangkah lebih jauh dalam perkara tersebut, adalah merupakan keharusan pula bahwa setiap pembahasan masalah yang didasarkan pada asas Islam, harus tunduk pada sudut pandang Islam. Artinya menurut Islam hendaknya manusia melaksanakan seluruh aktivitasnya di dalam kehidupan sejalan dengan perintah-perintah Allah maupun larangan-larangan-Nya. Bahwa standar Islam adalah halal dan haram saja dan tidak ada yang lain. Sedangkan yang dimaksud halal itu adalah apa yang dihalalkan Allah, dan haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah. Hukum halal dan haram tersebut diperoleh dari nash-nash syara’ yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah, dan hal-hal yang ditunjuk oleh keduanya: (yaitu) ijma’ sahabat dan qiyas. Selanjutnya, yang halal diambil dan yang haram ditinggalkan. Sikap tersebut diambil tanpa memperhatikan lagi maslahat, atau mafsadat, juga tanpa memperhatikan lagi manfaat yang didapatkan maupun madzarat yang mungkin menimpa. Sungguh, pandangan Islam terhadap suatu masalah adalah pandangan pada manusia yang menghendaki hukum Allah (sesuai dengan kehendak Allah) terhadap masalah tersebut. Juga dengan adanya pemahaman bahwa cita-cita kemanusiaan, sosial, ekonomi pasti akan terealisir, terlepas apakah hal tersebut diketahui maupun tidak.
Allah SWT berfirman, yang artinya :
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS Thaha, 20 : 124)
Namun, apabila pandangan terhadap suatu masalah didominasi oleh sudut pandang yang bersifat manusiawi, sosial maupun ekonomi, maka berarti pemberlakuan hukum didasarkan pada akal, atau paling tidak hukum yang ditetapkan sesuai dengan visi akal. Sedangkan dalam Islam, yang dimaksud dengan membangun Islam berdasarkan akal adalah bahwa akidah Islam dibangun berdasarkan akal; ketika dalam proses memahami keberadaan Maha Pencipta yang Maha Pengatur. Juga dalam memahami bahwa al-Qur’an adalah datang dari sisi Allah SWT, dan bahwa Muhammad saw adalah Rasul Allah yang benar dan hak. Demikian pula yang dimaksud oleh Islam bahwa aktivitas akal manusia adalah untuk memahami nash-nash dari dalil-dalil yang bersifat syar’i. Bukan untuk membuat syariat maupun hukum. Adapun keterbatasan akal untuk menjangkau hal-hal yang bermanfaat bagi manusia adalah hal yang tidak lagi perlu dijelaskan. Bukankah adanya perbedaan sikap manusia terhadap satu kemaslahatan pada satu tempat (tertentu) apabila dibandingkan dengan (tempat) yang lain, atau dari satu masa dengan masa yang lain menunjukkan hal itu? Oleh karena itu benarlah pernyataan “dimana ada (pemberlakukan) syara’ disitu pasti ada maslahat”. Berdasarkan ini pula, para ulama kaum Muslim meletakkan kaidah-kaidah usul dalam mengistimbathkan hukum syara’ yang didasarkan pada tahqiq al-manath. Sedangkan yang dimaksud dengan tahqih al-manath tidak lain adalah pengkajian terhadap realita masalah, maupun kajian terhadap nash-nash syara’ yang berkaitan dengan perkara tadi. Selanjutnya dilakukan aktivitas istimbath hukum syara’ untuk memberikan solusi terhadap masalah tersebut. Adapun arahan terhadap sudut pandang maupun terpengaruhnya perasaan yang dilandaskan pada manfaat maupun maslahat, hal itu bukanlah bertahkim pada syariat Allah, tetapi bertahkim pada akal. Berdasarkan asumsi inilah pembahasan hukum transplantasi organ tubuh dan transfusi darah dilakukan.
Sedangkan sistematika yang kami gunakan dalam menyusun makalah ini adalah :
1.      Pendahuluan yang mambahas tentang pentingnya kita membicarakan maslaah transpantasi anggota badan ini, di karenakan sekarang ilmu kedokteran telah mengalami kemajuan, dan semakin maraknya praktek-praktek tersebut.
2.      Isi membicarakan tentang transplantasi organ ketika masih hidup dan pada orang mati juga membahas masalah hokum pada masing-masing pembahasan.
3.      Keimpulan, merupakan kesimpulan dari poin isi yang di bahas.
4.      Daftar pustaka.
II.                ISI
Berdasarkan pendahuluan tersebut di atas, pembahasan hukum transplantasi organ dilakukan sebagaimana berikut ini:
Transplantasi organ ketika masih hidup,
Yang dimaksud disini adalah donor anggota tubuh bagi siapa saja yang memerlukan pada saat si donor masih hidup. Donor semacam ini hukumnya boleh. Karena Allah Swt memperbolehkan memberikan pengampunan terhadap qisash maupun diyat.
Allah Swt berfirman:
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (TQS al-Baqarah [2]: 178)
Namun, donor seperti ini dibolehkan dengan syarat. Yaitu, donor tersebut tidak mengakibatkan kematian si pendonor. Misalnya, dia mendonorkan jantung, limpha atau paru-parunya. Hal ini akan mengakibatkan kematian pada diri si pendonor. Padahal manusia tidak boleh membunuh dirinya, atau membiarkan orang lain membunuh dirinya; meski dengan kerelaannya.
Allah Swt berfirman:
Dan janganlah kamu membunuh dirimu. (QS an-Nisa [4]: 29).
Selanjutnya Allah Swt berfirman:
Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-An’am [6]: 151)
Sebagaimana tidak bolehnya manusia mendonorkan anggota tubuhnya yang dapat mengakibatkan terjadinya pencampur-adukan nasab atau keturunan. Misalnya, donor testis bagi pria atau donor indung telur bagi perempuan. Sungguh Islam telah melarang untuk menisbahkan dirinya pada selain bapak maupun ibunya.
Allah Swt berfirman:
Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. (QS al-Mujadilah [58]: 2)
Selanjutnya Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang menasabkan dirinya pada selain bapaknya, atau mengurus sesuatu yang bukan urusannya maka atas orang tersebut adalah laknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia”.
Sebagaiman sabda Nabi saw:
Barang siapa yang dipanggil dengan (nama) selain bapaknya maka surga haram atasnya”
Begitu pula dinyatakan oleh beliau saw:
Wanita manapun yang telah mamasukkan nasabnya pada suatu kaum padahal bukan bagian dari kaum tersebut maka dia terputus dari Allah, dia tidak akan masuk surga; dan laki-laki manapun yang menolak anaknya padahal dia mengetahui (bahwa anak tersebut anaknya) maka Allah menghijab Diri-Nya dari laki-laki tersebut, dan Allah akan menelanjangi (aibnya) dihadapan orang-orang yang terdahulu maupun yang kemudian”.
Adapun donor kedua testis maupun kedua indung telur, hal tersebut akan mengakibatkan kemandulan; tentu hal ini bertentangan dengan perintah Islam untuk memelihara keturunan.
Transplantasi Organ yang dilakukan setelah mati
Adapun transplantasi setelah berakhirnya kehidupan; hukumnya berbeda dengan donor ketika (si pendonor) masih hidup. Dengan asumsi bahwa disini diperlukan adanya penjelasan tentang hukum pemilikan terhadap tubuh manusia setelah dia mati. Merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa setelah kematiannya, manusia telah keluar dari kepemilikan serta kekuasaannya terhadap semua hal; baik harta, tubuh, maupun istrinya. Dengan demikian, dia tidak lagi memiliki hak terhadap tubuhnya. Maka ketika dia memberikan wasiat untuk mendonorkan sebagian anggota tubuhnya, berarti dia telah mengatur sesuatu yang bukan haknya. Jadi dia tidak lagi diperbolehkan untuk mendonorkan tubuhnya. Dengan sendirinya wasiatnya dalam hal itu juga tidak sah. Memang dibolehkan untuk memberikan sebagian hartanya, walaupu harta tersebut akan keluar dari kepemilikannya ketika hidupnya berakhir. Tetapi itu disebabkan karena syara’ memberikan izin pada manusia tentang perkara tersebut. Dan itu merupakan izin khusus pada harta, tentu tidak dapat diberlakukan terhadap yang lain. Dengan demikian manusia tidak diperbolehkan memberikan wasiat dengan mendonorkan sebagian anggota tubuhnya setelah dia mati.
Adapun bagi ahli waris; sesungguhnya syara’ mewariskan pada mereka harta yang diwariskan (oleh si mati). Namun syara’ tidak mewariskan jasadnya kepada mereka, sehingga mereka tidak berhak untuk mendonorkan apapun dari si mati. Kalau terhadap ahli waris saja demikian, apalagi dokter atau penguasa, mereka sama sekali tidak berhak untuk mentransplantasikan organ orang setelah mati pada orang lain yang membutuhkan.
Terlebih lagi terdapat keharusan untuk menjaga kehormatan si mati serta adanya larangan untuk menyakitinya sebagaimana larangan pada orang yang hidup. Rasulullah saw bersabda:
“Mematahkan tulang orang yang telah mati sama hukumnya dengan memotong tulangnya ketika ia masih hidup”.
Dengan demikian Rasulullah saw melarang untuk merampas dan menyakiti (si mati). Memang benar bahwa melampaui batas terhadap orang mati dengan melukai atau memotong atau bahkan memecahkan (tulang) tidak ada jaminan (diyat) sebagaimana ketika dia masih hidup. Akan tetapi jelas bahwa melampaui batas terhadap jasad si mati atau menyakitinya dengan cara mengambil anggota tubuhnya adalah haram; dan haramnya bersifat pasti (qath’i).
Mengenai keadaan darurat yang telah dijadikan alasan oleh aparat negara, jajaran humas serta muftinya-yang membolehkan transplantasi; hal tersebut membutuhkan kajian tentang keadaan darurat serta penerapannya pada masalah transplantasi organ.
Sesungguhnya Allah Swt telah membolehkan orang dalam keadaan darurat hingga kehabisan bekal dan hidupnya terancam kematian untuk makan apa saja yang dijumpainya. Meski makanan tersebut diharamkan oleh Allah, namun (dalam kondisi darurat boleh-peny) dimakan sekedar untuk memulihkan tenaganya serta agar tetap hidup. Maka illat bolehnya makan makanan haram adalah untuk menjaga (eksistensi) kehidupan manusia. Dengan mengkaji anggota tubuh yang akan ditransplantasikan, maupun maksud transplantasi maka adakalanya penyelamatan hidup manusia tergantung pada tranplantasi (tentu berdasarkan dugaan kuat) seperti jantung, hati maupun kedua ginjal. Atau ada kalanya tranplantasi anggota tubuh yang tidak berhubungan langsung dengan penyelamatan hidup. Misalnya tranplantasi kornea, atau pupil atau mata secara keseluruhan dari orang yang telah mati.
Adapun anggota tubuh -yang diduga kuat- dapat menyelamatkan kehidupan manusia maka illat-nya dalam hal ini tidak sempurna. Karena kadang-kadang berhasil, kadang-kadang juga tidak. Hal ini berbeda dengan illat memakan bangkai; yang secara pasti mampu menyelamatkan hidup manusia. Terlebih lagi bahwa sebagian dari illah cabang (‘illat al-far’u)-dalam hal ini transplantasi-adalah terbebas dari pertentangan (dalil) yang lebih kuat, yang mengharuskan kebalikan dari perkara yang telah ditetapkan oleh ‘illat qiyas. ‘Illat qiyas dalam transplantasi organ adalah untuk memelihara kehidupan manusia-sebagaimana pada kasus makan bangkai. Padahal illat tersebut masih berupa ‘diduga kuat’. Ini bertentangan dengan (dalil) yang lebih kuat yaitu kehormatan jenazah serta larangan menyakiti atau merusaknya. Berdasarkan hal ini tidak diperbolehkan (baca: haram) melakukan transplantasi organ; yang dengan transplantasi tersebut kehidupan seseorang tergantung padanya.
Sedangkan transplantasi organ yang penyelamatan kehidupan orang tidak tergantung padanya; atau dengan kata lain kegagalan transplantasi tersebut tidak mengakibatkan kematian, maka illat yang ada pada pokok (‘illah al-ashl) -pemeliharaan terhadap kehidupan manusia-tidak ada. Dengan begitu hukum darurat tidak berlaku disini.
Dengan demikian maka tidak diperbolehkan melakukan tranplantasi organ dari seseorang yang telah mati; sementara dia terpelihara darahnya–baik muslim, kafir dzimmi, mu’ahid maupun musta’min-pada orang lain yang kehidupannya tergantung pada (keberhasilan) tranplantasi organ tersebut.
III.             KESIMPULAN
Dari isi makalah kami di atas dapatlah kami menyimpulkan beberapa hal yang urgen sekali kita ketahui. Antara lain :
-          Transplantasi organ tubuh adalah pemindahan organ tubuh dari seorang kepada orang lain untuk menolong orng tersebut.
-          Transplantasi yang dilakukan sewaktu orang (pendonor) masih hidup adalah dibolehkan dengan syarat pendonor tidak mendonorkan hal-hal yang membahayakan baginya seperti ginjal, jantung, testis bagi laki-laki dan indung telur bagi perempuan.
-          Sedangkan transplantasi yang dilakukan setelah pendonor meninggal adalah tidak diperbolehkan atau haram. Karena Rasulullah melarang kita untuk menyakiti/merampas mayat, apalagi dengan melukai dan memotongnya itu sangat tidak diperkenankan oleh islam, karena islam sangat menghormati manusia walaupun sudah mati.

0 komentar:

Posting Komentar